Jan Koum, pendiri WhatsApp, lahir dan besar
di Ukraina dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia nekat
pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang kita kenal sebagai “American Dream”.
Pada usia 17 tahun, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia
nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk
bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. “Hidup
begitu pahit”, Koum membatin.
Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka
bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesehatan seadanya. Koum lalu kuliah di
San Jose University. Tapi kemudian ia memilih drop out, karena lebih suka
belajar programming secara otodidak.
Karena
keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo!. Ia bekerja di sana
selama 10 tahun. Di tempat itu pula, ia berteman akrab dengan Brian Acton.
Keduanya membuat aplikasi WhatsApp tahun 2009, setelah resign dari
Yahoo!. Keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah menanjak popularitasnya saat itu, namun
diitolak. Facebook mungkin kini sangat menyesal pernah menolak lamaran mereka.
Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dollar
AS (sekitar Rp 224 triliun) beberapa hari lalu, Jan Koum melakukan ritual yang
mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu, saat umur 17 tahun, setiap
pagi antre untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan
kepalanya ke dinding tempat ia dulu antre. Mengenang saat-saat sulit, dimana
bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang.. Pelan2, air matanya meleleh. Ia
tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu.
Ia lalu mengenang ibunya yg sudah meninggal karena kanker. Ibunya
yang rela menjahit baju buat dia demi menghemat. “Tak ada uang, Nak…”. Jan Koum
tercenung. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan berita bahagia ini kepada
ibunya.
- Rezeki datang dari arah dan bentuk yang tidak
terduga. Remaja miskin yg dulu dapat jatah makan itu kini jadi Triliuner –
Sumber: iphincow.com